-------------------------------------------
(18+) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.
---------------------------------------------------
Agama saat ini merupakan realitas yang
berada di sekeliling manusia. Masing-masing manusia memiliki kepercayaan
tersendiri akan agama yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran. Agama yang
telah menjadi kebutuhan dasar manusia ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
sosial manusia tersebut.
Agama juga diyakini tidak hanya berbicara
soal ritual semata melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang harus
dikonkretkan dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam ranah ketatanegaraan muncul
tuntutan agar nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan bernegara.
Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang
dianutnya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(Anshari Thayib, 1997: v)
Munculnya tuntutan konkretisasi
nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara memunculkan perdebatan yang tidak
kunjung selesai mengenai relasi antara negara dan agama. Banyak pendapat yang
dikeluarkan oleh para ahli dalam menempatkan posisi agama dalam kehidupan
bernegara. Hampir setiap fase dalam sejarah sebuah bangsa selalu saja muncul
persoalan ini.
Para ahli merumuskan beberapa teori untuk
menganalisa relasi antara negara dan agama yang antara lain dirumuskan dalam 3
(tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, paradigma
sekularistik.
1)
Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)
Secara umum teori integralistik dapat
dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri dari berbagai entitas.
Entitas disini memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak
berarti saling menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan
bersatu.
Dalam kaitannya dengan relasi negara dan
agama, menurut paradigma integralistik, antara negara dan agama menyatu (integrated).
Negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan.
Menurut paradigma ini, kepala negara
adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya
diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine sovereignty),
karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di
”tangan Tuhan”. (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24)
Paradigma integralistik ini memunculkan
paham negara agama atau Teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan
Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu
dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan,
segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah
Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi
juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. (http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara/)
Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2009: 9),
menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat
kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal
dari Tuhan.
Dalam perkembangannya, paham teokrasi
terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi
tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai
otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas
kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula.
Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah
Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau
raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan. (http://tienkrahman.blogspot.com/2010/05/agama-dan-negara.html)
2)
Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)
Secara umum, teori simbiotik dapat
didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan
bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa antara
negara dan agama saling memerlukan.
Dalam hal ini, agama memerlukan negara
karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga
memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan
etika dan moral-spiritual. (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24)
Karena sifatnya yang simbiotik, maka
hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan
dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai
hukum negara. (Adi Sulistiyono, 2008: 2)
Marzuki Wahib dan Rumadi membagi Paradigma
Simbiotik ini menjadi tiga jenis, yaitu: Agama dan negara mempunyai keterkaitan
namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara
demikian lebih dekat ke negara sekular; Aspek agama yang masuk ke wilayah
negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh
ketentuan agama; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga
negara demikian sangat mendekati negara agama.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini,
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia
merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara,
maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut
melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda,
tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam
paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja
diwarnai oleh hukum Agama. (Agus Thohir, 2009:4)
3)
Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)
Paradigma ini menolak kedua paradigma
diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas)
agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. (Marzuki Wahid dan Rumadi,
2001: 28)
Negara dan Agama merupakan dua bentuk
yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum
positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan
manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum
Agama. (Agus Thohir, 2009: 4)
Paradigma ini memunculkan negara sekuler.
Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.
Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain,
atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua
hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum
positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas
kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan,
meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama.
Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya
Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang
mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan – urusan Agama
(Syari’at). (http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara/)
a. Relasi Negara dan Agama Menurut
Konstitusi Indonesia
Persoalan relasi antara negara dan agama
juga ada di dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Relasi negara dan agama di
Indonesia selalu mengalami pasang surut karena relasi antar keduanya tidak
berdiri sendiri melainkan dipengaruhi oleh persoalan-persoalan lain seperti
politik, ekonomi, dan budaya.
Pembahasan mengenai relasi negara dan
agama yang akan berlaku di Indonesia sudah dimulai oleh para pendiri bangsa. Menjelang
kemerdekaan 17 Agustus 1945, para tokoh pendiri negara dari kelompok Nasionalis
Islam dan Nasionalis, terlibat perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi
negara Indonesia yang akan didirikan kemudian. The Founding Fathers kita
menyadari betapa sulitnya merumuskan dasar filsafat negara Indonesia yang
terdiri atas beraneka ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang ada
di Indonesia ini. Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala
Sidang BPUPKI pertama, yang pada saat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin
pada tanggal 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada
tanggal 1 Juni, tahun 1945. Berdasarkan pidato dari ketiga tokoh pendiri negara
tersebut, persoalan dasar filsafat negara (Pancasila) menjadi pusat
perdebatan antara golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada awalnya golongan
Islam menghendaki negara berdasarkan Syari’at Islam, namun golongan nasionalis
tidak setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu kesepakatan
dengan ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan
Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945. (Kaelan, 2009: 11-12)
Dalam perkembangan berikutnya ketika
bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945,
yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, atas nama seluruh bangsa
Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan Kemrdekaan Indone-sia) yang
diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil ketuanya memulai tugas-tugasnya.
Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta
mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, dan hal ini
dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur,
tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Pada pertemuan bersejarah tersebut,
kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang luhur menjadi
“Ketuhanan yang Maha Esa”. (Kaelan, 2009: 13-14)
Pendiri negara Indonesia menentukan
pilihan yang khas dan inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya dengan
agama. Pancasila sila pertama, ”Ketuhanan yang Maha Esa”, dinilai sebagai
paradigma relasi negara dan agama yang ada di Indonesia. Selain itu, melalui
pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen moral yang sangat tinggi
sampailah pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Mengingat kekhasan unsur-unsur
rakyat dan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras
agama nampaknya Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja
bentuk negara sebagaimana yang ada di dunia. (Kaelan, 2009: 24)
Bangsa Indonesia yakin bahwa kemerdekaan
yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan semata-mata perjuangan
rakyat, namun semua itu tidak akan pernah terwujud jika Tuhan Yang Maha Kuasa
tidak menghendakinya. Jadi sejak negara Indonesia lahir, didasari oleh
nilai-nilai Ketuhanan. Dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ke-empat dinyatakan
secara tegas bahwa: ”Kemerdekaan Indonesia adalah berkat Rahmat Allah Yang Maha
Kuasa”. Selain itu, dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) diperkuat
lagi pengakuan negara atas kekuatan Tuhan yang menyatakan bahwa “Negara
berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau
spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (Lukman Hakim Saifuddin, 2009: 9).
Menurut Adi Sulistiyono, agama diperlakukan sebagai salah satu pembentuk cita
negara (staasidee). (Adi Sulistiyono, 2008: 3)
Namun hal itu bukan berarti bahwa
Indonesia merupakan negara teokrasi. Relasi yang terjalin antara negara
Indonesia dan agama ialah relasi yang bersifat simbiosis-mutualistis di mana
yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini, agama
memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan
keagamaan. (Lukman Hakim Saifuddin, 2009: 10)
Indonesia bukan negara agama melainkan
negara hukum. Hukum menjadi panglima, dan kekuasaan tertinggi di atas hukum.
Artinya bahwa Undang-Undang dibuat oleh lembaga legislatif yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Anggota DPR terdiri dari berbagai suku, etnis, agama,
jenis kelamin dan sebagainya. Hukum di Indonesia tidak dibuat oleh kelompok
agama. Jadi agama tidak pernah mengatur negara, begitu juga sebaliknya negara
tidak semestinya mengatur kehidupan beragama seseorang. (http://legal.daily-thought.info/2010/02/relasi-negara-dan-agama-jaminan-kebebasan-beragama-antara-indonesia-dan-amerika-serikat/)
Penataan hubungan antara agama dan negara
juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling mengontrol dan
mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk hegemonik
sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga negaranya, harus
dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang mengutamakan
menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama
disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga
harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan
yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara. (Lukman Hakim Saifuddin,
2009: 10)
Jadi, baik secara historis maupun secara
yuridis, negara Indonesia dalam hal relasinya dengan agama menggunakan
paradigma pancasila. Mahfud M.D. menyebut pancasila merupakan suatu konsep
prismatik. Prismatik adalah suatu konsep yang mengambil segi-segi yang baik
dari dua konsep yang bertentangan yang kemudian disatukan sebagai konsep
tersendiri sehingga dapat selalu diaktualisasikan dengan kenyataan masyarakat
indonesia dan setiap perkembangannya. Negara Indonesia bukan negara agama
karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama saja, tetapi negara
pancasila juga bukan negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau
terlibat dalam urusan agama. Negara pancasila adalah sebuah religions nation
state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan
memfasilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa
pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk.
-------------------------------------------
(18+) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.
---------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment