Tuesday, October 9, 2018

contoh makalah agama islam persamaan antar manusia


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Yang menjadi pemikiran para penganut teori ini hanyalah materi. Mereka tidak memandang penting arti jiwa. Mereka mengklaim bahwa yang membagi-bagi individu secara psikologis dan membagi-bagi masyarakat secara sosial dan yang menjadi penyebab perpecahan dan ketidakberesan adalah adanya sistem pemilikan pribadi. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial. Pada awal sejarahnya, manusia hidup secara kolektif, dan tidak menyadari eksistensi individualnya. Pada saat itu manusia memiliki jiwa kolektif dan perasaan kolektif. Sandaran hidupnya adalah berburu. Setiap orang dapat mencari nafkah dari sungai dan hutan menurut kebutuhannya. Tak ada masalah surplus produksi. Masalah surplus ini baru muncul ketika manusia menemukan cara berproduksi. Dengan cara ini muncul kemungkinan surplus produksi dan kemungkinan sebagian orang bekerja sementara sebagian lainnya tinggal makan saja tanpa perlu bekerja.
Itu merupakan perkembangan yang melahirkan praktik hak milik. Hak pribadi untuk memiliki sumber-sumber produksi seperti air dan tanah serta alat produksi seperti bajak, menghapus semangat kolektif dan membagi-bagi masyarakat yang sejauh itu hidup sebagai satu unit menjadi "kaum mampu" dan "kaum tak mampu". Masyarakat yang hidup sebagai "Kami" berubah bentuk menjadi "Aku". Akibat munculnya hak milik ini, manusia menjadi tidak menyadari realitasnya sendiri sebagai makhluk sosial. Kalau sebelumnya manusia merasa hanya sebagai manusia seperti manusia lainnya, maka sekarang manusia memandang dirinya sendiri sebagai pemilik, bukannya sebagai manusia. Maka manusia menjadi tidak menyadari dirinya sendiri, dan mulai memburuk keadaannya. Hanya dengan menghapus sistem hak milik pribadi, manusia dapat pulih kembali kesatuan moral dan sosialnya serta kesehatan mental dan sosialnya.
Gerakan sejarah yang sifatnya wajib itu sudah terjadi ke arah ini. Milik pribadi, yang telah mengubah kesatuan manusia menjadi pluralitas, dan mengubah kebersamaan menjadi sendiri-sendiri, adalah seperti menara kecil yang disebutkan oleh penyair sufi Persia, Maulawi, dalam sebuah tamsil yang bagus. Dia mengatakan bahwa menara kecil dan puncak memecah-mecah satu sorot sinar matahari ke dalam ruang-ruang terpisah dengan meng-hasilkan segmen-segmen bayangan di antaranya. Tentu saja Maulawi menggambarkan sebuah kebenaran makrifat rohaniah, yaitu munculnya pluralitas dari kesatuan, dan pada akhirnya akan kembali kepada kesatuan. Namun dengan sedikit diplintir, tamsil ini dapat juga digunakan untuk mengilustrasikan teori sosialismenya Marxis.

B. RUMUSAN MASALAH
            Untuk mempermudah pembahasan makalah ini, penulis mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:
a.       Gambaran Tentang Landasan persamaan antarmanusia.
b.      Konsep tentang prinsip persamaan.
c.       Gambaran tentang kemanusiaan universal.
C. TUJUAN PENULISAN
            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
a.       Untuk mengetahui landasan persamaan antarmanusia
b.      Untuk mengetahui konsep tentang prinsip persamaan
c.       Untuk mengetahui gambaran tentang kemanusiaan universal.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    LANDASAN PERSAMAAN ANTARMANUSIA
Prinsip persamaan antarmanusia dipandang sebagai prinsip dasar islam yang ketiga bagi pengelolaan hidup bermasyarakat untuk memahami apa konsepsi mengenai prinsip persamaan. Keesaan Allah dan perwujudan sunnatullah dialam ini menuntut adanya persamaan derajat manusia dihadapan Allah SWT. Kepatuhan mereka secara bersama-sama terhadap sunnah-Nya itu membawa pada persamaan hak dan kewajiban mereka.
Kutipan diatas menjelaskan bahwa prinsip persamaan antarmanusia itu merupakan lanjutan logis dari dua prinsip dasar islam yang telah dijelaskan terdahulu, yakni prinsip tauhid dan sunnatullah. Prinsip tauhid mengajarkan bahwa semua manusia sama kedudukannya dihadapan Tuhan dan berlaku atas mereka segala sunnatullah secara adil tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya, tidak ada kelebihan bagi manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selain ketakwaan. Setiap manusia akan dibalas sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing. Jika mereka berbuat amal kebajikan, balasan yang akan dijumpainya adalah kebajikan pula. Sebaliknya jika mereka berbuat kejahatan kejahatan pula balasannya sementara itu prinsip sunnatullh mengajarkan bahwa alam semesta, termasuk umat manusia tunduk kepada sunnatullah atau hukum alam ciptaan Tuhan dengan demikian paham inipun mengarah kepada kesimpulan bahwa manusia itu sama-sama tunduk kepada hukum-hukum yang ditetapkan Allah SWT. di ala mini.
Umat Islam bukan hanya sama melainkan juga bersaudara satu sama lain dengan hak dan kewajiban yang sama. Semua muslim itu bersaudara dan mereka harus saling mencintai satu sama lain. Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Karenanya, dapat dikatakan bahwa prinsip persamaan adalah salah satu prinsip kehidupan bermasyarakat yang asasi dalam Islam.
Didalam Al-Qur’an sejumlah ayat secara jelas menggambarkan ajaran persamaan antarmanusia dapat dilihat pada ayat 13 surat al-Hujurat. Didalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari pasangan laki-laki dan perempuan kemudian dari pasngan tersebut lahir pasngan –pasangan lainnya. Dengan demikian pada hakikatnya, manusia itu adalah satu keluarga proses penciptaan yang seragam, ini merupakan bukti bahwa pada dasrnya semua manusia adalah sama karena itu manusia memiliki kedudukan yang sama. Dari asal kejadian yang sama, yaitu dari tanah, dari yang satu, yakni Adam yang diciptakan dari tanah. Karena itu, tidak ada kelebihan seorang individu atas individu lainnya atas satu golongan atas golongan lainnya. Karena asal-usul kejadian manusia adalah sama, tidak layak seseorang atau golongan menyombongkan diri terhadap yang lain atau menghina yang lainnya.
Dari hadits Nabi, bersamaan ditegaskan :
Wahai manusia, sesungguhnya ayahmu satu dan sesungguhnya ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada keunggulan manuisa satu dan manusia lainnya, serta tidak pula orang kulita hitam atas orang berkulit merah. Yang membedakan hanyalah takwanya..
Hadits tersebut secara tegas menerangkan bahwa  pada dasarnya manusia itu sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apapun kecuali takwanya pada Allah SWT. islam secara tegas menolak adanya dominasi manusia terhadap manusia lainnya. Jika ada dominasi manusia atas manusia merupakan akar penyebab dari semua kejahatan dan keburukan di dunia, baik secar langsung maupun tidak langsung. Inilah yang menjadi cikal bakal semua bencana dalam kehidupan umat manusia dan bahkan sampai hari ini tetap menjadi penyebab utama semua bencana dan malapetaka yang dialami manusia.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk atau rupa kamu, juga tidak pada harta benda kamu. Akan tetapi Allah SWT memandang kepada hati dan amal perbuatan semata.
            Kondisi yang demikian itulah yang hendak diperbaiki Nabi dalam dakwah islamiahnya. Nabi melihat bahwa system kehidupan bermasyarakat sangat bertentangan dengan ajaran islam karena itu, ketika Nabi telah memiliki kedudukan yang mantap sebagai pemimpin masyarakat di Madinah, Beliau segera membuat perjanjian tertulis yang dikenal dengan nama piagam madinah, yang didalamnya antara lain, menyatakan bahwa seluruh penduduk Madinah memproleh status yang sama tau perlakuan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat.
            Timbul pertanyaan, apakah prinsip persamaan yang dibawa Islam identik dengan paham persamaan (egalitarianism) yang selalu didengungkan ibarat dewasa ini? Terhadap pernytaan ini, dengan tegas menyatakan bahwa paham persamaan yang dibawa Islam sangat berbeda dengan paham persamaan yang ditonjokan dalam peradaban barat. Persamaan yang diajarkan Islam adalah persamaan yang dalam bentuk paling hakiki dan paling sempurna. Islam mengajarka bahwa semua manusia dari segi harkat dan martabatnya adalah sama dihadapan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara manusia yang satu dan lainnya, kecuali dalam takwanya kepada Tuhan.
            Adapun persamaan dibarat, hanya persamaan dihadapan hukum yang tidak lain adalah buatan manusia sendiri. Paham persamaan di barat muncul sebagai akibat dari revolusi Perancis(1789). Cita-cita yang amat ditonjolkan dalam revolusi ini adalah kebebasan, persamaan dan persaudaraan (liberte, legalite, fraternite),aplikasi terpenting dari cita-cita tersebut adalah timbulnya politik demokratis. Paham persamaan antarmanusia di depan hukum dipandang sebagai monopoli dunia barat, adapun dalam Islam prinsip persamaan di muka hukum telah dilaksanakan sejak masa nabi yaitu sekitar abad ke-7 jadi prinsip persamaan yang amat dijunjung tinggi di barat, yang kemudian melahirkan kehidupan demokrasi itu, bukanlah monopoli dunia barat. Konsep persamaan ini ternyata memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam, bahkan merupakan salah satu inti ajaran Islam.
            Yang dapat dipahami bahwa perbedaan yang paling mendasar antara paham persamaan di dunia barat dan di dalam Islam terletak pada dua hal, yakni pada sumbernya dan pada bentuknya. Ajaran persamaan di dalam Islam bersumber dari ajaran tauhid, sementara di barat bersumber dari cita-cita refolusi Prancis, ajaran persamaan dalam islam bukan hanya mengambil bentuk persamaan di haddapan hukum yang nota bene merupakan ciptaan manusia, melainkan dia mencakup persamaan di hadapan Tuhan, adapun persamaan dalam masyarakat barat hanya sebatas persamaan di hadapan hukum dengan kata lain cakupan persamaan dalam islam lebih luas daripada di barat, selai itu ajaran persamaan dalam Islam bersifat spiritual, karena berlandaskan ajaran agama. Dalam islam menambahkan bahwa ajaran persamaan mencakup dua aspek yaitu aspek kerohanian dan aspek kemasyarakatan, aspek kerohanian terletak pada penyadaran manusia akan jati dirinya sebagai hamba Allah. Dengan menghayati ajaran persaman ini setiap muslim diharapkan menyadari jati dirinya sebagai hamba Allah swt yang tidaak ada bedanya dengan manusia lain karena merupakan mahluk ciptaannya, dengan menghayati ajaran persamaan ini maka timbul kesadaran dalm diri manusia bahwa mereka sesungguhnya bersaudara, khususnya, ketika beribadah kepada Allah SWT.

B.     PRINSIP PERSAMAAN
Prinsip persamaan antar manusia selain merupakan salah satu dari tiga prinsip dasar Islam bagi tata kelola pemerintahan serta pengelolaan hidup bermasyarakat, juga merupakan salah satu dari prinsip-prinsip dasar Negara islam. Paham persamaan di barat dan di dalam ajaran Islam, prinsip persamaan antar manusia tersebut lebih ditekankan dalam kaitannya dengan hidup bernegara dan implementasinya pada praktek politik Islam. Prinsip persamaan yang diajarkan Islam pada hakikatnya bersumber dari tauhid, yakni keyakinan bahwa tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa. Dialah yang menciptakan semua manusia dan di hadapannya semua manusia itu sama derajatnya. Yang membedakan manusia hanyalah takwanya kepada Tuhan, ajarsan persamaan ini mengandung nilai-nilai yang luhur dan hendaknya semua system social mengacu pada nilai-nilai luhur tersebut.
Di dalam menjelaskan betapa pentingnya ajaran persamaan ini bagi pengelolaan hidup bernegara, manusia itu amat bangga terhadap sukunya. Kebanggaan itu melahirkan sifat arogan dan congkak serta fanatisme etnis yang berlebihan, setiap suku memandang suku merekalah yang paling mulia, dan sebaliknya suku lain mereka pandang hina. Sikap seperti itu pada gilirannya, menimbulkan permusuhan antar suku yang tidak habis-habisnya di kalangan mereka, dalam masyarakat seperti itu sulit diwujudkan ikatan persatuan sebagai dasar bagi kehidupan bernegara, dengan demikian ajaran persamaan ini terutama dimaksudkan untuk memerangi kecongkakan dan mengikis fanatisme kesukuan di kalangan masyarakat.
Selain itu situasi dunia pada waktu islam lahir pada abad ke-7 sangat jauh dari sifat egalitarian. Situasi dunia di sekitar jazira Arab pada masa itu digambarkan sebagai berikut: di sebelah timur Jzira arab tepatnya Iran terdapat system kelas yang sudah sangat kuat, terstruktur, dan kaku, yang berasal dari tradisi aria. Di balik lagi terdapat sistem kasta yang bahkan jauh lebih diskriminatif dan lebih kaku yang berasal dari agama Hindu di India. Sementara itu di bagian baratnya terdapat system-sistem yang di dasarkan pada factor keturunan dan aristokrasi yang diwarisi dunia Kristen dari dunia Yunani Bizantium dan suku-suku jerman, walaupun telah diperhalus oleh nilai-nilai dan ajaran Kristen tidak pernah hilang dan dalam banyak hal bahkan dibenarkan dan diperluas cakupannya.
Mengingat kondisi dan struktur masyarakat Arab yang terdiri dari berbagai suku dan tabilah, yang karenanya amat rentan terhadap segala macam perpecahan dapat dipahami jika nabi begitu gigih memperjuangkan perlunya diterapkan ajaran persamaan antar manusia untuk menghilangkan benih-benih permusuhan di kalangan masyarakat Arab pada masa-masa permulaan islam mengingat struktur masyarakat yang dihadapi nabi dimasa itu adalah masyarakat Kabilah, yang memegang kuat trdisi Jahiliah yang melihat tingkatan manusia berbeda-beda, sebaliknya Islam menghendaki tatanan masyarakat yang di dalamnya tidak ada klas dan kasta dengan menghadirkan ajaran persamaan itu berarti Islam, pada dasarnya menghendaki masyarakat egalitarian. Itu sebabnya Islam disebut sebagai agama egalitarian selanjutnya ajaran persamaan dalam Islam tidak hanya mencakup persamaan di muka hukum melainkan lebih luas daripada itu yakni persamaan di hadapan Tuhan.
Persaman manusia di muka hukum berimplikasi pada soal pelaksanaan hukum yaitu bahwa semua manusia berhak mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum, adpu persamaan di hadapan Allah berimplikasi pada timbulnya persatuan dan perdamaian, jadi persamaan antarmanusia di hadapan Allah SWT sebagai landasan persatuan Islam, sedangkan persamaan manusia di muka hukum sebagai landasan system kemsyarakatan Islam, ini menunjukkan betapa agungnya nilai-nilai Islam yang apabila ummat Islam mampu menimplementasikan dalam kehidupan bernegara, akan tercipta tatanan Negara yang lebih baik di banding daripada apa yang dipandang ideal di dunia Barat. Bahwa seorang khalifah dan seorang pemimpin kaum muslimin tidak mempunyai kelebihan sedikitpun, dari rakyat yang dipimpinnya, bahkan dia berkewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip persamaan itu dalam kehidupan bermasyarakat atau ia melakukan hal-hal yang menyalahi perintah Allah SWT.
penjelasan di atas mengandung ketegasan bahwa seorang yang menduduki posisi sebagai pemimpin atau penguasa tidak perlu merasa lebih tinggidari pada bawahannya.karena setiap warga Negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, tampa melihat posisi dan jabatan mereka. Karena itu para pemimpin Negara dilarang memperlakukan warga negaranya secara diskriminatif.
Lebih lanjut dalam system Negara islam semua warga Negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan Negara. Tidak ada perbedaan antar bangsawan dan hamba sahaya, penguasa dan rakyat jelata, baik di depan hukum maupun dalam hal pelaksanaan perintah dan larangan Allah.
Ungkapan di atas menggambarkan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang terbuka, yaitu masyarakat yang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan social-politik. Adanya tingkat partisipasi social-politik yang tinggi dalam islam itu berakar dari adanya hak-hak pribadi dan masyarakat yang tidak boleh diingkari. Hak pribadi dalam masyarakat, tulis Nurcholis Madjid, memunculkan tanggungjawab bersama terhadap kesejahteraan para warga. Sebaliknya, hak masyarakat itu atas pribadi warganya menghasilkan kewajiban setiap pribadi warga itu kepada masyarakat. Jadi, hak dan kewajiban sesungguhnya merupakan dua sisi dari hakikat manusia, yaitu harkat dan martabatnya.
     Implementasi dari prinsip persamaan ini pada masa Nabi, antara lain, terlihat ketika Nabi SAW.memilih dan mengangkat orang-orang seperti Salman al-Farisi (muslim non-Arab), Zaid ibn Harisah (bekas budak Nabi yang dihadiahkan oleh Khadijah), dan puteranya. Usamah ibn Zaid menjadi panglima-panglima perang, sedangkan padda masa itu cukup banyak sahabat dari kalangan Quraisy yang pantass menduduki posisi sebagai penglima perang.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah mengangkat warga negaranya sebagi pemimpin bukan karena pemimpin bukan didasarkan pada pertimbangan kekeluaragaan, kebangsawanan dan posisi seorang dalam kabilah, melainkan didasarkan pada persentasi dan keahliannya. Beliau jauh dari sikap nepotis dan despotis. Sudah tentu cara yang dilakukan oleh Rasulullah itu sedikit banyak mengurangi kecongkakan orang-orang Arab yang memiliki fanatisme kesukuan yang kuat.
Implikasi lain dari ajaran ini adalah pelaksanaan musyawarah. Implementasi musyawarah  alam islam diperlihatkan secara jelas oleh Rasulullah SAW.selaku kepala Negara di Madinah. Bahkan, Nabi telah menjadikan prinsip musyawarah ini sebagai dasar system pemerintahannya.
Fakta historis membuktikan betapa seringnya beliau bermusyarah dengan para sahabatnya sebelum mengambil keputusan penting menyangkut urusan kemasyarakatan dan kenegaraan. Beberapa kejadian berikut dipaparkan sebagai bukti seringnya Nabi melakukan musyawarah. Penentuan taktik dalam perang badar dilakukan Nabi setelah bermusywarah dengan para sahabatnya. Dalam kasus ini  Nabi mendengarkan saran dari Hubab ibn Munzir mengenai tempat yang strategis untuk dijadikan markas pasukan.
Lalu, pada waktu kaum muslim memperoleh kemenangan dalam perasng badar timbul pendapat yang controversial mengenai sikap yang bharus diambil sehubungan dengan tawanan perang yang berasal dari kalangan Quraisy yang sebagian besar adalah keluarga kaum muslim. Pendapat pertama kali diwakili oleh Abu Bakar yang mengatakan bahwa tawanan perang tidak perlu dibunuh karena mereka adalah kerabat kaum muslim juga, tetapi cukup dimintai tebusan yang besarnya disesuaikan dengan kondisi kemampuan mereka. Adapun pendapat kedua yang diwakili oleh Umar bin Khattab menegaskan agar para tawanan itu dibunuh saja. dalam hal ini Nabi, setelah bermusywarah dengan para sahabatnya, mengambil jalan tengah, yaitu member hak kebebasan kepada para sahabat untuk memilih apakah akan membunuh atau melepaskan tawanan dengan tebusan. Ternyata keputusan Nabi itu mendapat teguran dari Allah dengan turunnya ayat 67 surah al-Anfal yang mengecam pengambilan tebusan dari para tawanan perang tersebut.
Sikap Nabi dan kaum muslim terhadap tawanan perang badar itu sebagai suatu sikap yang amat terpuji, terutama jika hal ini dubandingkan dengan dalih hendak memadamkan pemberontakan, baik dalam perang dunia maupun yang terjadi dalam berbagai revolusi, seperti Revolusi Perancis.
Musyawarah bukan hanya dilaksanakan pada masa Nabi, melainkan juga dilaksanakan pada masa-masa sesudahnya, khususnya pada masa Khulafa’ Rasyidin. Pemilihan Abu Bakar sebagai kepala Negara adalah didasarkan pada musyawarah. Abu Bakar dipilih dengan Islam dan prestasinya dalam menegakkan Islam, bukan karena unsure kekeluargaan dan kesukuan. Abu Bakar juga tidak mencalonkan dirinya, melainkan dicalonkan oleh Umar dan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah.
Berdasarkan prinsip persamaan yang dikemukakan diatas, pembentukan masyarakat dalam Islam tidak didasarkan pada pertimbangan –pertimbangan primordial, seperti kemuliaan keluarga atau banyaknya harta, tidak juga atas kefanatikan kesukuan atau golongan atau bahkan kekuasaan. Tetapi pembentukan masyarakat didasarkan pada nilai-nilai Al-Qur’an dan pada sunah rasul-Nya, yang antara lain menekankan perlunya kesamaan antarmanusia. Karena itu, dalam masyarakat Islam tidak dikenal adanya kelas, tidak dikenal bentuk mayoritas, tidak ada kelompok elite atau borjuis, tidak ada kelompok aristocrat. Yang ada hanyalah kelompok orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
Konsekuensinya bagi kehidupan bernegara bahwa pemilihan kepala Negara atau wakil-wakil masyarakat tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbngan material, seperti kemuliaan, keturunan, kekayaan, kefanatikan kesukuan, dan kekuasaan, melainkan dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pemahaman mereka terhadap hukum-hukum agama serta pengamalan mereka terhadap ajaran agama tersebut.

C.    KEMANUSIAAN UNIVERSAL
Idul Fitri adalah gerak kembali ke asal. Kata id adalah akar yang sama dengan kata-kata awdah atau awdat-un, adah atau adat-un dan isti’adah atau isti’adat-un. Semua kata tersebut berarti kembali atau terulang. Kata “adat-istiadat” yang dipakai dalam pembicaraan sehari-hari juga berasal dari kata-kata ini, ‘adat-un wa isti’adai-un yang artinya sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan akan terus terulang sebagai adat kebiasaan. Hari rayapun disebut ‘id karena ia datang kembali berulang-ulang secara periodic dalam waktu setahun. Sedangkan kata “fitri” seakar dengan “Fitrah” yang artinya kejadian asal yang suci atau bahkan kesucian akal.
Makna kembalinya manusia kepada hakikatnya yang wajar dari kemanusiaan, terjadi mulai dari secara fisik siklus makan dan minum yang kembali seperti sediakala sebelum puasa, hingga pada makna primordialnya dalam istilah Dante dari Aligheri, kembalinya pada kesucian, kembali pada alam surgawi dari inferno, keadaan neraka manusiawi karena Fitrah dari Allah, seperti dikatakn Al-Qur’an,
Maka hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama; menurut fitrah Allah yang atas pola itu ia menciptakan manusia. Tiada perubahan pada ciptaan Allah; itulah agama yang baku; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu. (Q.S. al-Rum/30:30)
Manusia walaupun dasarnya suci, tapi ia adalah makhluk yang lemah, suka membuat ksalahan, dalam bahasa latin, erare humanum , kesalahan adalah manusiawi. Sehingga walauun kondisi primordialnya manusia adalah suci, tetapi ia begitu mudah tergilincir dalam dosa yang menyedihkan yang menjadikan dirinya tidak suci lagi. Dan salah satu kelemahan manusia yang paling pokok ialah pandangannya yang pendek dan tidak mampu melihat jauh ke depan. Karena itu manusia mudah tertarik kepada hal-hal yang sepintas lalu menawarka kesenangan, padahal dalam jangka panjang, membawa malapetaka. Itu sebabnya dala agama, ada ritus penyucian, yang akan terus mengembalikan kesucian manusia. Orang yang menjalankan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan, dengan sendirinya akan dapat mengembalikan jiwanya pada kesucian atau paradise itu: yaitu suatu kebahagiaan karena tanpa dosa.
Idul Fitri memancarka kebahagiaan ruhani manusia, karena berhasil kembali kepadda Tuhan,memenuhi perjanjian primordialnya, berjanji untuk mengetahui Tuhan Yang Maha Esa sebagai orientasi hidup, seperti tergambar dalam ayat,
Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari anak-anak Adam keturunan mereka dari sulbinya dan menjadikan saksi atas diri mereka sendiri ( dengan pertanyaan): “Bukankan Aku Tuhanmu?. Mereka menjawab: “ya! Kami bersaksi!” (demikianlah) supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat:”ketika itu kami lalai.” (Q.S. al-Araf/7:172)
Dalam agam Islam, fitrah (dan bersama dengan fitrah ini, kehanifan(hanifiyah): kecenderungan kepada kebenaran yang lapang) adalah lokus kesadarn kebenaran, dan merupakan titik yang menuntut kesediaan masing-masing manusia untuk menerima agama penyerahan diri dan ketaatan hidup moral. Fitrah dan kehanifan ini adalah desain ciptaan Allah yang tidak akan berubah, sehungga tetap akan ada selama-lamanya dalam diri manusia, yang malah akan menjadi sumber potensi kearifan abadi(al-hikmat al-khalidah atau sofia perennis), inti dari nilai kemanusian universal. Nabi menegaskan bahwa sebaik-baiknya agama ialah al-hanafiyah al-samhah (semangat mencari kebenaran dan kebaikan secara wajar, alami, lapang dan manuisawi.
Dengan begitu, bisalah dikatakan Idul Fitrh adalah hari kemanuisaan universal yang suci. Manusia adalah suci, dan harus berbuat suci kepada sesamanya. Nabi SAW bersabdsa, “Orang yang saying kepada sesamanya akan disayangi ole Yang Maha Penyayang. Maka sayangilah sesame di bumi. Dia yang dilangit akan menyayangimu”
Dalam potensi kemanusiaan inilah, setiap muslim wajib memanifestasikan keadaan ruhaninya ini, yang bersemayam dalam hati nurani ini (nurani, artinya bersifat cahaya terang), dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan sosialnya. Agam mengatakan bahwa untuk itu, manusia telah dibekali dengan akal pikiran, kemudian agama, dan berbagai kewajiban untuk terus menerusmencari dan memilih jalan hidup yang lurus, benar dan baik (kehidupan moralnya) yang harus dipertanggungjawabkan baik didunia kepada sesama, maupun kepada Tuhan di akhirat, ketika setiap orang, akan datang kepadanya secara pribadi-pribadi.
Pandangan agama ini mengimplikasikan bahwa setiap pribadi manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Barang siapa merugika seorang pribadi, seperti membunuhnya, tanpa alasan yang sah maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia, dan barang siapa berbuat baik kepada seseorang, seperti menolong hidupnya, maka ia bagaikan berbuat baik kepada seluruh umat manusia.
Karena itu Kami tentukan kepada Bani Israil: bahwa barangsiapa yang membunuh orang yang tidak membunuh orang lain atau berbuat kerusakan dibumi, maka ia seolah membunuh semua orang; dan barangsiapa menyelamatkan nyawa semua orang, rasul-rasul Kami telah datang kepada mereka dengan bukti0-bukti yang jelas. Tetapi kemudian setelah itu banyak diantara mereka melakukan pelanggaran dibumi. (Q.S. al-Maidah/5:32)
Inilah implikasi dari kefitraan manusia, bahwa setiap pribadi manusia harus berbuat baik kepada sesamanya dengan memenuhi kewajiban diri pribadi terhadap pribad yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang lain, dalam suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yang damai dan terbuka. Ini juga arti salam, kedamaian dibumi yang menjadi tujuan dan tuntunan agama pada kehidupan social manusia. Kefitraan juga menjadikan manusioa mempunyai sikap-sikap terbuka, lapang dada, penuh pengertian, dan kesediaa untuk senantiasa member maaf secar wajar dan pada tempatnya. Gabungan antara hak pribadi dan kewajiban social itu mencerminkan ajaran Islam tenteng “jalan tengah” (wasath), wajar daj fair (qisth) serta adil (adl), sikap-sikap yang secara berulang kali ditekankan dalam kitab suci.

















BAB III
PENUTUP
            Berangkat dari pembahasan makalah di atas, maka saya mencoba memberikan sedikit gambaran tentang :
a.       Gambaran Tentang Landasan persamaan antarmanusia.
b.      Konsep tentang prinsip persamaan.
c.       Gambaran tentang kemanusiaan universal.
Umat Islam bukan hanya sama melainkan juga bersaudara satu sama lain dengan hak dan kewajiban yang sama. Semua muslim itu bersaudara dan mereka harus saling mencintai satu sama lain. Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Karenanya, dapat dikatakan bahwa prinsip persamaan adalah salah satu prinsip kehidupan bermasyarakat yang asasi dalam Islam.      
Berdasarkan prinsip persamaan yang dikemukakan diatas, pembentukan masyarakat dalam Islam tidak didasarkan pada pertimbangan –pertimbangan primordial, seperti kemuliaan keluarga atau banyaknya harta, tidak juga atas kefanatikan kesukuan atau golongan atau bahkan kekuasaan. Tetapi pembentukan masyarakat didasarkan pada nilai-nilai Al-Qur’an dan pada sunah rasul-Nya, yang antara lain menekankan perlunya kesamaan antarmanusia. Karena itu, dalam masyarakat Islam tidak dikenal adanya kelas, tidak dikenal bentuk mayoritas, tidak ada kelompok elite atau borjuis, tidak ada kelompok aristocrat. Yang ada hanyalah kelompok orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
Konsekuensinya bagi kehidupan bernegara bahwa pemilihan kepala Negara atau wakil-wakil masyarakat tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbngan material, seperti kemuliaan, keturunan, kekayaan, kefanatikan kesukuan, dan kekuasaan, melainkan dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pemahaman mereka terhadap hukum-hukum agama serta pengamalan mereka terhadap ajaran agama tersebut.
Setiap pribadi manusia harus berbuat baik kepada sesamanya dengan memenuhi kewajiban diri pribadi terhadap pribad yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang lain, dalam suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yang damai dan terbuka. Ini juga arti salam, kedamaian dibumi yang menjadi tujuan dan tuntunan agama pada kehidupan social manusia. Kefitraan juga menjadikan manusioa mempunyai sikap-sikap terbuka, lapang dada, penuh pengertian, dan kesediaa untuk senantiasa member maaf secar wajar dan pada tempatnya. Gabungan antara hak pribadi dan kewajiban social itu mencerminkan ajaran Islam tenteng “jalan tengah” (wasath), wajar daj fair (qisth) serta adil (adl), sikap-sikap yang secara berulang kali ditekankan dalam kitab suci.














DAFTAR PUSTAKA
Al-Asymawi, Muhammad Sa’id, al-Khilafah al-Islamiyah, Sina li al-Nasyr, Kairo 1992.
Baisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1980.
Mulia, Musdah, Negara Islam, Paramadina, Depok, 2010.
Madjid, Nurcholis, Cendekiawan Dan Regiliusitas Masyrakat, Paramadina, Jakarta, 2009.
Sadjali, Munawir, islam Dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1990.
Asad, Muhammad, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka, Bandung 1985.

No comments:

Post a Comment