Sunday, July 28, 2013

PENGARUH ETNIS DALAM PILKADA SULAWESI SELATAN

-------------------------------------------

(18+) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.

---------------------------------------------------

  Dalam proses pilkada, banyak faktor yang terlibat, banyak faktor yang mempengaruhi terutama dalam perilaku pemilih. Berbicara tentang etnis, tentu masih kuat diingatan kita, bagaimana faktor etnis menjadi faktor yang sangat sensitif dan kuat dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Bagaimana posisi etnis dalam pilkada? Untuk skala indonesia secara umum, terdapat berbagai macam temuan dan pendapat, ada yang menyatakan bahwa faktor etnis sangat kuat mempengaruhi perilaku pemilih dalam proses pilkada, pemilih cenderung memilih calon dengan mendasarkan pada kesamaan etnis, dalam artian kesamaan ras dan etnis pemilih dengan partai atau pejabat publik cenderung mempengaruhi perilaku pemilih seseorang. Tetapi ada juga yang menyatakan, faktor etnis tidak terlalu mempengaruhi perilaku pemilih dalam proses pilkada.
 Terdapat dua faktor besar yang mempengaruhi perilaku pemilih dalam pilkada, faktor psikologis dan faktor sosiologis. Perilaku pemilih memang ada yang dipengaruhi faktor sosiologi seperti kesamaan etnis dan budaya. Pendukung teori ini, di antaranya Scott C. Flanagan (1991), David Denver (1989), Gerald Pomper (1978), dan Seymour Martin Lipset (1981). Mereka melihat kecenderungan faktor etnis (dan juga aliran) ini pada beberapa kasus pemilu di Inggris dan Jepang. Angus Campbell (1976) dari Universitas Michigan berseberangan dengan pandangan sosiologis. Berdasar pada hasil risetnya di Amerika, Angus melihat faktor psikologis seperti pengetahuan, sikap, dan kepercayaan pemilih kepada kandidat, yang dominan memengaruhi pemilih.
Richard Niemi dan Herbert F. Weisbergg (1984) dalam bukunya, Controversies of Voting Behaviour, menjelaskan berdasar pada risetnya di beberapa negara bagian Amerika, terdapat perilaku pemilih yang rasional (rational-choice) yang cenderung pragmatis dan ekonomis. Bila kandidat dipandang menguntungkan, mulai pencoblosan hingga berkuasa kelak, pemilih akan memilihnya. Sebaliknya, bila hanya merugikan waktu kerja, tenaga, dan menghabiskan biaya, pemilih tidak akan mencoblos (golput). Ian Mc Allister (1992) dalam bukunya, Political Behaviour: Citizen, Parties, and Elites in Australia, mencatat ada perilaku pemilih Australia yang konsen pada faktor struktural (memilih berdasarkan kedekatan kelas sosial-ekonomi, desa-kota, dll) dan faktor ekologi (memilih berdasar pada kedekatan karakterisik wilayah pedalaman, pesisir, pertanian, perkebunan, dll.).
            Politisasi etnis, meskipun dalam skala kecil, misalnya diranah lokal daerah dapat menciptakan biaya politik yang besar. Ini terlihat di banyak daerah yang dapat dijadikan referensi dan bahan renungan dari pelaksanaan Pilkada. Dengan munculnya wacana politik etnis dalam ranah politik daerah terutama dalam proses demokrasi ditingkat lokal, yakni pada Pilkada langsung dimana elit yang mencalonkan diri sebagai kandidat calkada maupun wacalkada yang lebih condong memilih pasangan mereka berdasarkan representasi jumlah etnis untuk menggalang solidaritas etnis di daerahnya.

Arena Pilkada memberi kesempatan kepada kita untuk melihat lebih dalam kaitan antara etnis dengan perilaku pemilih. Dalam Pilkada muncul calon yang berasal dari etnis berlainan. Dengan kondisi seperti itu akan dilihat apakah pemilih cenderung untuk melihat kandidat yang mempunyai etnis sama dengan dirinya. Apakah kandidat yang kebetulan berasal dari etnis mayoritas mendapat keuntungan dan berusaha “mengeploitasi” kelebihan itu dalam menarik sebanyak-banyaknya pemilih. Aspek etnis tampaknya tidak boleh dilupakan perannya dalam Pilkada. Latar belakang etnis kandidat sedikit banyak mempengaruhi pilihan pemilih. Pemilih cenderung memilih kandidat yang berasal dari etnis yang sama. Aspek etnis tampaknya tidak boleh dilupakan perannya dalam Pilkada. Latar belakang etnis kandidat sedikit banyak mempengaruhi pilihan pemilih

Teori-teori dalam lapangan sosiologis menyebut-kan faktor etnis adalah salah satu variabel penting yangbisa menjelaskan pilihan seseorang pada kandidat ataupartai tertentu. Kesamaan ras dan etnik antara pemilihdan partai atau calon pejabat publik cenderung mempe-ngaruhi perilaku memilih seseorang. Arena Pilkada memberi kesempatan kepadakita untuk melihat lebih dalam kaitan antara etnis denganperilaku pemilih. Berbeda dengan pemilihan legislatif ataupresiden (nasional), kandidat yang maju dalam Pilkadakemungkinan lebih banyak menggunakan isu dan senti-men etnis. Di sejumah Pilkada misalnya, kita kerap meli-hat munculnya isu seperti “putra daerah”, “calon penda-tang”, “calon penduduk asli”, dan sebagainya. Ada sejum-lah alasan mengapa isu etnis lebih mungkin muncul dalam Pilkada dibandingkan dengan pemilihan nasional seperti Pemilu Legislatif dan presiden. Pertama, perta-rungan kandidat dalam Pilkada umumnya bersifat lokal.Banyak kandidat yang maju mewakili kelompok tertentu.Ini menyebabkan kandidat yang kebetulan berasal ataudidukung oleh kelompok mayoritas menggunakan isu dan sentiment etnis untuk mendapatkan dukungan dari pemilih.

Di Provinsi Sulawesi selatan terdapat etnis besar yakni Makassar dan Bugis. Kedua, di Wilayah tersebut muncul calon yang berasal dari etnis berlainan. Dengan kondisi seperti itu akan dilihat apakah pemilih cenderung untuk memilih kandidat yang mempunyai etnis yang sama dengan dirinya.

-------------------------------------------

(18+) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.

---------------------------------------------------


No comments:

Post a Comment