BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Yang
menjadi pemikiran para penganut teori ini hanyalah materi. Mereka tidak
memandang penting arti jiwa. Mereka mengklaim bahwa yang membagi-bagi individu
secara psikologis dan membagi-bagi masyarakat secara sosial dan yang menjadi
penyebab perpecahan dan ketidakberesan adalah adanya sistem pemilikan pribadi.
Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial. Pada awal sejarahnya, manusia
hidup secara kolektif, dan tidak menyadari eksistensi individualnya. Pada saat
itu manusia memiliki jiwa kolektif dan perasaan kolektif. Sandaran hidupnya
adalah berburu. Setiap orang dapat mencari nafkah dari sungai dan hutan menurut
kebutuhannya. Tak ada masalah surplus produksi. Masalah surplus ini baru muncul
ketika manusia menemukan cara berproduksi. Dengan cara ini muncul kemungkinan
surplus produksi dan kemungkinan sebagian orang bekerja sementara sebagian
lainnya tinggal makan saja tanpa perlu bekerja.
Itu
merupakan perkembangan yang melahirkan praktik hak milik. Hak pribadi untuk memiliki
sumber-sumber produksi seperti air dan tanah serta alat produksi seperti bajak,
menghapus semangat kolektif dan membagi-bagi masyarakat yang sejauh itu hidup
sebagai satu unit menjadi "kaum mampu" dan "kaum tak
mampu". Masyarakat yang hidup sebagai "Kami" berubah bentuk
menjadi "Aku". Akibat munculnya hak milik ini, manusia menjadi tidak
menyadari realitasnya sendiri sebagai makhluk sosial. Kalau sebelumnya manusia
merasa hanya sebagai manusia seperti manusia lainnya, maka sekarang manusia
memandang dirinya sendiri sebagai pemilik, bukannya sebagai manusia. Maka
manusia menjadi tidak menyadari dirinya sendiri, dan mulai memburuk keadaannya.
Hanya dengan menghapus sistem hak milik pribadi, manusia dapat pulih kembali
kesatuan moral dan sosialnya serta kesehatan mental dan sosialnya.
Gerakan
sejarah yang sifatnya wajib itu sudah terjadi ke arah ini. Milik pribadi, yang
telah mengubah kesatuan manusia menjadi pluralitas, dan mengubah kebersamaan
menjadi sendiri-sendiri, adalah seperti menara kecil yang disebutkan oleh
penyair sufi Persia, Maulawi, dalam sebuah tamsil yang bagus. Dia mengatakan
bahwa menara kecil dan puncak memecah-mecah satu sorot sinar matahari ke dalam
ruang-ruang terpisah dengan meng-hasilkan segmen-segmen bayangan di antaranya.
Tentu saja Maulawi menggambarkan sebuah kebenaran makrifat rohaniah, yaitu
munculnya pluralitas dari kesatuan, dan pada akhirnya akan kembali kepada
kesatuan. Namun dengan sedikit diplintir, tamsil ini dapat juga digunakan untuk
mengilustrasikan teori sosialismenya Marxis.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk
mempermudah pembahasan makalah ini, penulis mengangkat rumusan masalah sebagai
berikut:
a. Gambaran
Tentang Landasan persamaan antarmanusia.
b. Konsep
tentang prinsip persamaan.
c. Gambaran
tentang kemanusiaan universal.
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Untuk
mengetahui landasan persamaan antarmanusia
b. Untuk
mengetahui konsep tentang prinsip persamaan
c. Untuk
mengetahui gambaran tentang kemanusiaan universal.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN PERSAMAAN ANTARMANUSIA
Prinsip
persamaan antarmanusia dipandang sebagai prinsip dasar islam yang ketiga bagi
pengelolaan hidup bermasyarakat untuk memahami apa konsepsi mengenai prinsip
persamaan. Keesaan Allah dan perwujudan sunnatullah dialam ini menuntut adanya
persamaan derajat manusia dihadapan Allah SWT. Kepatuhan mereka secara
bersama-sama terhadap sunnah-Nya itu membawa pada persamaan hak dan kewajiban
mereka.
Kutipan diatas
menjelaskan bahwa prinsip persamaan antarmanusia itu merupakan lanjutan logis
dari dua prinsip dasar islam yang telah dijelaskan terdahulu, yakni prinsip
tauhid dan sunnatullah. Prinsip tauhid mengajarkan bahwa semua manusia sama
kedudukannya dihadapan Tuhan dan berlaku atas mereka segala sunnatullah secara
adil tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya, tidak ada kelebihan bagi
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selain ketakwaan. Setiap manusia
akan dibalas sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing. Jika mereka
berbuat amal kebajikan, balasan yang akan dijumpainya adalah kebajikan pula.
Sebaliknya jika mereka berbuat kejahatan kejahatan pula balasannya sementara
itu prinsip sunnatullh mengajarkan bahwa alam semesta, termasuk umat manusia
tunduk kepada sunnatullah atau hukum alam ciptaan Tuhan dengan demikian paham
inipun mengarah kepada kesimpulan bahwa manusia itu sama-sama tunduk kepada
hukum-hukum yang ditetapkan Allah SWT. di ala mini.
Umat Islam bukan
hanya sama melainkan juga bersaudara satu sama lain dengan hak dan kewajiban
yang sama. Semua muslim itu bersaudara dan mereka harus saling mencintai satu
sama lain. Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya
seperti mencintai dirinya sendiri. Karenanya, dapat dikatakan bahwa prinsip
persamaan adalah salah satu prinsip kehidupan bermasyarakat yang asasi dalam
Islam.
Didalam
Al-Qur’an sejumlah ayat secara jelas menggambarkan ajaran persamaan
antarmanusia dapat dilihat pada ayat 13 surat al-Hujurat. Didalam ayat tersebut
dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari pasangan laki-laki dan perempuan
kemudian dari pasngan tersebut lahir pasngan –pasangan lainnya. Dengan demikian
pada hakikatnya, manusia itu adalah satu keluarga proses penciptaan yang
seragam, ini merupakan bukti bahwa pada dasrnya semua manusia adalah sama
karena itu manusia memiliki kedudukan yang sama. Dari asal kejadian yang sama,
yaitu dari tanah, dari yang satu, yakni Adam yang diciptakan dari tanah. Karena
itu, tidak ada kelebihan seorang individu atas individu lainnya atas satu
golongan atas golongan lainnya. Karena asal-usul kejadian manusia adalah sama,
tidak layak seseorang atau golongan menyombongkan diri terhadap yang lain atau
menghina yang lainnya.
Dari hadits Nabi, bersamaan
ditegaskan :
Wahai manusia,
sesungguhnya ayahmu satu dan sesungguhnya ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada
keunggulan manuisa satu dan manusia lainnya, serta tidak pula orang kulita
hitam atas orang berkulit merah. Yang membedakan hanyalah takwanya..
Hadits tersebut
secara tegas menerangkan bahwa pada
dasarnya manusia itu sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar
apapun kecuali takwanya pada Allah SWT. islam secara tegas menolak adanya
dominasi manusia terhadap manusia lainnya. Jika ada dominasi manusia atas
manusia merupakan akar penyebab dari semua kejahatan dan keburukan di dunia,
baik secar langsung maupun tidak langsung. Inilah yang menjadi cikal bakal
semua bencana dalam kehidupan umat manusia dan bahkan sampai hari ini tetap
menjadi penyebab utama semua bencana dan malapetaka yang dialami manusia.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW. bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak memandang
kepada bentuk atau rupa kamu, juga tidak pada harta benda kamu. Akan tetapi
Allah SWT memandang kepada hati dan amal perbuatan semata.
Kondisi
yang demikian itulah yang hendak diperbaiki Nabi dalam dakwah islamiahnya. Nabi
melihat bahwa system kehidupan bermasyarakat sangat bertentangan dengan ajaran
islam karena itu, ketika Nabi telah memiliki kedudukan yang mantap sebagai
pemimpin masyarakat di Madinah, Beliau segera membuat perjanjian tertulis yang
dikenal dengan nama piagam madinah, yang didalamnya antara lain, menyatakan
bahwa seluruh penduduk Madinah memproleh status yang sama tau perlakuan yang
sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Timbul
pertanyaan, apakah prinsip persamaan yang dibawa Islam identik dengan paham
persamaan (egalitarianism) yang selalu didengungkan ibarat dewasa ini? Terhadap
pernytaan ini, dengan tegas menyatakan bahwa paham persamaan yang dibawa Islam
sangat berbeda dengan paham persamaan yang ditonjokan dalam peradaban barat.
Persamaan yang diajarkan Islam adalah persamaan yang dalam bentuk paling hakiki
dan paling sempurna. Islam mengajarka bahwa semua manusia dari segi harkat dan
martabatnya adalah sama dihadapan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara manusia
yang satu dan lainnya, kecuali dalam takwanya kepada Tuhan.
Adapun
persamaan dibarat, hanya persamaan dihadapan hukum yang tidak lain adalah
buatan manusia sendiri. Paham persamaan di barat muncul sebagai akibat dari
revolusi Perancis(1789). Cita-cita yang amat ditonjolkan dalam revolusi ini
adalah kebebasan, persamaan dan persaudaraan (liberte, legalite,
fraternite),aplikasi terpenting dari cita-cita tersebut adalah timbulnya
politik demokratis. Paham persamaan antarmanusia di depan hukum dipandang
sebagai monopoli dunia barat, adapun dalam Islam prinsip persamaan di muka
hukum telah dilaksanakan sejak masa nabi yaitu sekitar abad ke-7 jadi prinsip
persamaan yang amat dijunjung tinggi di barat, yang kemudian melahirkan kehidupan
demokrasi itu, bukanlah monopoli dunia barat. Konsep persamaan ini ternyata
memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam, bahkan merupakan salah satu inti
ajaran Islam.
Yang
dapat dipahami bahwa perbedaan yang paling mendasar antara paham persamaan di
dunia barat dan di dalam Islam terletak pada dua hal, yakni pada sumbernya dan
pada bentuknya. Ajaran persamaan di dalam Islam bersumber dari ajaran tauhid,
sementara di barat bersumber dari cita-cita refolusi Prancis, ajaran persamaan
dalam islam bukan hanya mengambil bentuk persamaan di haddapan hukum yang nota
bene merupakan ciptaan manusia, melainkan dia mencakup persamaan di hadapan
Tuhan, adapun persamaan dalam masyarakat barat hanya sebatas persamaan di
hadapan hukum dengan kata lain cakupan persamaan dalam islam lebih luas
daripada di barat, selai itu ajaran persamaan dalam Islam bersifat spiritual,
karena berlandaskan ajaran agama. Dalam islam menambahkan bahwa ajaran
persamaan mencakup dua aspek yaitu aspek kerohanian dan aspek kemasyarakatan, aspek
kerohanian terletak pada penyadaran manusia akan jati dirinya sebagai hamba
Allah. Dengan menghayati ajaran persaman ini setiap muslim diharapkan menyadari
jati dirinya sebagai hamba Allah swt yang tidaak ada bedanya dengan manusia
lain karena merupakan mahluk ciptaannya, dengan menghayati ajaran persamaan ini
maka timbul kesadaran dalm diri manusia bahwa mereka sesungguhnya bersaudara,
khususnya, ketika beribadah kepada Allah SWT.
B. PRINSIP PERSAMAAN
Prinsip
persamaan antar manusia selain merupakan salah satu dari tiga prinsip dasar
Islam bagi tata kelola pemerintahan serta pengelolaan hidup bermasyarakat, juga
merupakan salah satu dari prinsip-prinsip dasar Negara islam. Paham persamaan
di barat dan di dalam ajaran Islam, prinsip persamaan antar manusia tersebut
lebih ditekankan dalam kaitannya dengan hidup bernegara dan implementasinya
pada praktek politik Islam. Prinsip persamaan yang diajarkan Islam pada
hakikatnya bersumber dari tauhid, yakni keyakinan bahwa tiada tuhan selain
Allah yang Maha Esa. Dialah yang menciptakan semua manusia dan di hadapannya
semua manusia itu sama derajatnya. Yang membedakan manusia hanyalah takwanya
kepada Tuhan, ajarsan persamaan ini mengandung nilai-nilai yang luhur dan
hendaknya semua system social mengacu pada nilai-nilai luhur tersebut.
Di dalam
menjelaskan betapa pentingnya ajaran persamaan ini bagi pengelolaan hidup
bernegara, manusia itu amat bangga terhadap sukunya. Kebanggaan itu melahirkan
sifat arogan dan congkak serta fanatisme etnis yang berlebihan, setiap suku
memandang suku merekalah yang paling mulia, dan sebaliknya suku lain mereka
pandang hina. Sikap seperti itu pada gilirannya, menimbulkan permusuhan antar
suku yang tidak habis-habisnya di kalangan mereka, dalam masyarakat seperti itu
sulit diwujudkan ikatan persatuan sebagai dasar bagi kehidupan bernegara,
dengan demikian ajaran persamaan ini terutama dimaksudkan untuk memerangi
kecongkakan dan mengikis fanatisme kesukuan di kalangan masyarakat.
Selain itu
situasi dunia pada waktu islam lahir pada abad ke-7 sangat jauh dari sifat
egalitarian. Situasi dunia di sekitar jazira Arab pada masa itu digambarkan
sebagai berikut: di sebelah timur Jzira arab tepatnya Iran terdapat system
kelas yang sudah sangat kuat, terstruktur, dan kaku, yang berasal dari tradisi
aria. Di balik lagi terdapat sistem kasta yang bahkan jauh lebih diskriminatif
dan lebih kaku yang berasal dari agama Hindu di India. Sementara itu di bagian
baratnya terdapat system-sistem yang di dasarkan pada factor keturunan dan
aristokrasi yang diwarisi dunia Kristen dari dunia Yunani Bizantium dan
suku-suku jerman, walaupun telah diperhalus oleh nilai-nilai dan ajaran Kristen
tidak pernah hilang dan dalam banyak hal bahkan dibenarkan dan diperluas
cakupannya.
Mengingat
kondisi dan struktur masyarakat Arab yang terdiri dari berbagai suku dan
tabilah, yang karenanya amat rentan terhadap segala macam perpecahan dapat
dipahami jika nabi begitu gigih memperjuangkan perlunya diterapkan ajaran
persamaan antar manusia untuk menghilangkan benih-benih permusuhan di kalangan
masyarakat Arab pada masa-masa permulaan islam mengingat struktur masyarakat
yang dihadapi nabi dimasa itu adalah masyarakat Kabilah, yang memegang kuat
trdisi Jahiliah yang melihat tingkatan manusia berbeda-beda, sebaliknya Islam
menghendaki tatanan masyarakat yang di dalamnya tidak ada klas dan kasta dengan
menghadirkan ajaran persamaan itu berarti Islam, pada dasarnya menghendaki
masyarakat egalitarian. Itu sebabnya Islam disebut sebagai agama egalitarian
selanjutnya ajaran persamaan dalam Islam tidak hanya mencakup persamaan di muka
hukum melainkan lebih luas daripada itu yakni persamaan di hadapan Tuhan.
Persaman manusia
di muka hukum berimplikasi pada soal pelaksanaan hukum yaitu bahwa semua
manusia berhak mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum, adpu persamaan di
hadapan Allah berimplikasi pada timbulnya persatuan dan perdamaian, jadi
persamaan antarmanusia di hadapan Allah SWT sebagai landasan persatuan Islam,
sedangkan persamaan manusia di muka hukum sebagai landasan system kemsyarakatan
Islam, ini menunjukkan betapa agungnya nilai-nilai Islam yang apabila ummat
Islam mampu menimplementasikan dalam kehidupan bernegara, akan tercipta tatanan
Negara yang lebih baik di banding daripada apa yang dipandang ideal di dunia
Barat. Bahwa seorang khalifah dan seorang pemimpin kaum muslimin tidak
mempunyai kelebihan sedikitpun, dari rakyat yang dipimpinnya, bahkan dia
berkewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip persamaan itu dalam kehidupan
bermasyarakat atau ia melakukan hal-hal yang menyalahi perintah Allah SWT.
penjelasan di
atas mengandung ketegasan bahwa seorang yang menduduki posisi sebagai pemimpin
atau penguasa tidak perlu merasa lebih tinggidari pada bawahannya.karena setiap
warga Negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, tampa melihat posisi dan
jabatan mereka. Karena itu para pemimpin Negara dilarang memperlakukan warga negaranya
secara diskriminatif.
Lebih lanjut
dalam system Negara islam semua warga Negara memiliki hak yang sama untuk
berpartisipasi dalam pembangunan Negara. Tidak ada perbedaan antar bangsawan
dan hamba sahaya, penguasa dan rakyat jelata, baik di depan hukum maupun dalam
hal pelaksanaan perintah dan larangan Allah.
Ungkapan di atas
menggambarkan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang terbuka, yaitu
masyarakat yang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada setiap individu untuk
berpartisipasi dalam kegiatan social-politik. Adanya tingkat partisipasi
social-politik yang tinggi dalam islam itu berakar dari adanya hak-hak pribadi
dan masyarakat yang tidak boleh diingkari. Hak pribadi dalam masyarakat, tulis
Nurcholis Madjid, memunculkan tanggungjawab bersama terhadap kesejahteraan para
warga. Sebaliknya, hak masyarakat itu atas pribadi warganya menghasilkan
kewajiban setiap pribadi warga itu kepada masyarakat. Jadi, hak dan kewajiban
sesungguhnya merupakan dua sisi dari hakikat manusia, yaitu harkat dan
martabatnya.
Implementasi
dari prinsip persamaan ini pada masa Nabi, antara lain, terlihat ketika Nabi
SAW.memilih dan mengangkat orang-orang seperti Salman al-Farisi (muslim
non-Arab), Zaid ibn Harisah (bekas budak Nabi yang dihadiahkan oleh Khadijah),
dan puteranya. Usamah ibn Zaid menjadi panglima-panglima perang, sedangkan
padda masa itu cukup banyak sahabat dari kalangan Quraisy yang pantass menduduki
posisi sebagai penglima perang.
Penjelasan
tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah mengangkat warga negaranya sebagi
pemimpin bukan karena pemimpin bukan didasarkan pada pertimbangan
kekeluaragaan, kebangsawanan dan posisi seorang dalam kabilah, melainkan
didasarkan pada persentasi dan keahliannya. Beliau jauh dari sikap nepotis dan
despotis. Sudah tentu cara yang dilakukan oleh Rasulullah itu sedikit banyak
mengurangi kecongkakan orang-orang Arab yang memiliki fanatisme kesukuan yang
kuat.
Implikasi lain
dari ajaran ini adalah pelaksanaan musyawarah. Implementasi musyawarah alam islam diperlihatkan secara jelas oleh
Rasulullah SAW.selaku kepala Negara di Madinah. Bahkan, Nabi telah menjadikan
prinsip musyawarah ini sebagai dasar system pemerintahannya.
Fakta historis
membuktikan betapa seringnya beliau bermusyarah dengan para sahabatnya sebelum
mengambil keputusan penting menyangkut urusan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Beberapa kejadian berikut dipaparkan sebagai bukti seringnya Nabi melakukan
musyawarah. Penentuan taktik dalam perang badar dilakukan Nabi setelah
bermusywarah dengan para sahabatnya. Dalam kasus ini Nabi mendengarkan saran dari Hubab ibn Munzir
mengenai tempat yang strategis untuk dijadikan markas pasukan.
Lalu, pada waktu
kaum muslim memperoleh kemenangan dalam perasng badar timbul pendapat yang
controversial mengenai sikap yang bharus diambil sehubungan dengan tawanan
perang yang berasal dari kalangan Quraisy yang sebagian besar adalah keluarga
kaum muslim. Pendapat pertama kali diwakili oleh Abu Bakar yang mengatakan
bahwa tawanan perang tidak perlu dibunuh karena mereka adalah kerabat kaum
muslim juga, tetapi cukup dimintai tebusan yang besarnya disesuaikan dengan
kondisi kemampuan mereka. Adapun pendapat kedua yang diwakili oleh Umar bin
Khattab menegaskan agar para tawanan itu dibunuh saja. dalam hal ini Nabi,
setelah bermusywarah dengan para sahabatnya, mengambil jalan tengah, yaitu
member hak kebebasan kepada para sahabat untuk memilih apakah akan membunuh
atau melepaskan tawanan dengan tebusan. Ternyata keputusan Nabi itu mendapat
teguran dari Allah dengan turunnya ayat 67 surah al-Anfal yang mengecam
pengambilan tebusan dari para tawanan perang tersebut.
Sikap Nabi dan
kaum muslim terhadap tawanan perang badar itu sebagai suatu sikap yang amat
terpuji, terutama jika hal ini dubandingkan dengan dalih hendak memadamkan
pemberontakan, baik dalam perang dunia maupun yang terjadi dalam berbagai
revolusi, seperti Revolusi Perancis.
Musyawarah bukan
hanya dilaksanakan pada masa Nabi, melainkan juga dilaksanakan pada masa-masa
sesudahnya, khususnya pada masa Khulafa’ Rasyidin. Pemilihan Abu Bakar sebagai
kepala Negara adalah didasarkan pada musyawarah. Abu Bakar dipilih dengan Islam
dan prestasinya dalam menegakkan Islam, bukan karena unsure kekeluargaan dan
kesukuan. Abu Bakar juga tidak mencalonkan dirinya, melainkan dicalonkan oleh
Umar dan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah.
Berdasarkan
prinsip persamaan yang dikemukakan diatas, pembentukan masyarakat dalam Islam
tidak didasarkan pada pertimbangan –pertimbangan primordial, seperti kemuliaan
keluarga atau banyaknya harta, tidak juga atas kefanatikan kesukuan atau
golongan atau bahkan kekuasaan. Tetapi pembentukan masyarakat didasarkan pada
nilai-nilai Al-Qur’an dan pada sunah rasul-Nya, yang antara lain menekankan
perlunya kesamaan antarmanusia. Karena itu, dalam masyarakat Islam tidak
dikenal adanya kelas, tidak dikenal bentuk mayoritas, tidak ada kelompok elite
atau borjuis, tidak ada kelompok aristocrat. Yang ada hanyalah kelompok
orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
Konsekuensinya
bagi kehidupan bernegara bahwa pemilihan kepala Negara atau wakil-wakil
masyarakat tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbngan material,
seperti kemuliaan, keturunan, kekayaan, kefanatikan kesukuan, dan kekuasaan,
melainkan dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pemahaman mereka
terhadap hukum-hukum agama serta pengamalan mereka terhadap ajaran agama
tersebut.
C. KEMANUSIAAN UNIVERSAL
Idul
Fitri adalah gerak kembali ke asal. Kata id adalah akar yang sama dengan
kata-kata awdah atau awdat-un, adah atau adat-un dan isti’adah atau
isti’adat-un. Semua kata tersebut berarti kembali atau terulang. Kata
“adat-istiadat” yang dipakai dalam pembicaraan sehari-hari juga berasal dari
kata-kata ini, ‘adat-un wa isti’adai-un yang artinya sesuatu yang selalu akan
terulang dan diharapkan akan terus terulang sebagai adat kebiasaan. Hari
rayapun disebut ‘id karena ia datang kembali berulang-ulang secara periodic
dalam waktu setahun. Sedangkan kata “fitri” seakar dengan “Fitrah” yang artinya
kejadian asal yang suci atau bahkan kesucian akal.
Makna
kembalinya manusia kepada hakikatnya yang wajar dari kemanusiaan, terjadi mulai
dari secara fisik siklus makan dan minum yang kembali seperti sediakala sebelum
puasa, hingga pada makna primordialnya dalam istilah Dante dari Aligheri,
kembalinya pada kesucian, kembali pada alam surgawi dari inferno, keadaan
neraka manusiawi karena Fitrah dari Allah, seperti dikatakn Al-Qur’an,
Maka
hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama; menurut fitrah Allah yang atas
pola itu ia menciptakan manusia. Tiada perubahan pada ciptaan Allah; itulah
agama yang baku; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu. (Q.S. al-Rum/30:30)
Manusia
walaupun dasarnya suci, tapi ia adalah makhluk yang lemah, suka membuat
ksalahan, dalam bahasa latin, erare humanum , kesalahan adalah manusiawi.
Sehingga walauun kondisi primordialnya manusia adalah suci, tetapi ia begitu
mudah tergilincir dalam dosa yang menyedihkan yang menjadikan dirinya tidak suci
lagi. Dan salah satu kelemahan manusia yang paling pokok ialah pandangannya
yang pendek dan tidak mampu melihat jauh ke depan. Karena itu manusia mudah
tertarik kepada hal-hal yang sepintas lalu menawarka kesenangan, padahal dalam
jangka panjang, membawa malapetaka. Itu sebabnya dala agama, ada ritus
penyucian, yang akan terus mengembalikan kesucian manusia. Orang yang
menjalankan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan, dengan sendirinya akan dapat
mengembalikan jiwanya pada kesucian atau paradise itu: yaitu suatu kebahagiaan
karena tanpa dosa.
Idul
Fitri memancarka kebahagiaan ruhani manusia, karena berhasil kembali kepadda
Tuhan,memenuhi perjanjian primordialnya, berjanji untuk mengetahui Tuhan Yang
Maha Esa sebagai orientasi hidup, seperti tergambar dalam ayat,
Ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan dari anak-anak Adam keturunan mereka dari sulbinya
dan menjadikan saksi atas diri mereka sendiri ( dengan pertanyaan): “Bukankan
Aku Tuhanmu?. Mereka menjawab: “ya! Kami bersaksi!” (demikianlah) supaya kamu
tidak berkata pada hari kiamat:”ketika itu kami lalai.” (Q.S. al-Araf/7:172)
Dalam
agam Islam, fitrah (dan bersama dengan fitrah ini, kehanifan(hanifiyah):
kecenderungan kepada kebenaran yang lapang) adalah lokus kesadarn kebenaran,
dan merupakan titik yang menuntut kesediaan masing-masing manusia untuk
menerima agama penyerahan diri dan ketaatan hidup moral. Fitrah dan kehanifan
ini adalah desain ciptaan Allah yang tidak akan berubah, sehungga tetap akan
ada selama-lamanya dalam diri manusia, yang malah akan menjadi sumber potensi
kearifan abadi(al-hikmat al-khalidah atau sofia perennis), inti dari nilai
kemanusian universal. Nabi menegaskan bahwa sebaik-baiknya agama ialah
al-hanafiyah al-samhah (semangat mencari kebenaran dan kebaikan secara wajar,
alami, lapang dan manuisawi.
Dengan
begitu, bisalah dikatakan Idul Fitrh adalah hari kemanuisaan universal yang
suci. Manusia adalah suci, dan harus berbuat suci kepada sesamanya. Nabi SAW
bersabdsa, “Orang yang saying kepada sesamanya akan disayangi ole Yang Maha Penyayang.
Maka sayangilah sesame di bumi. Dia yang dilangit akan menyayangimu”
Dalam
potensi kemanusiaan inilah, setiap muslim wajib memanifestasikan keadaan
ruhaninya ini, yang bersemayam dalam hati nurani ini (nurani, artinya bersifat
cahaya terang), dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan sosialnya. Agam
mengatakan bahwa untuk itu, manusia telah dibekali dengan akal pikiran,
kemudian agama, dan berbagai kewajiban untuk terus menerusmencari dan memilih
jalan hidup yang lurus, benar dan baik (kehidupan moralnya) yang harus
dipertanggungjawabkan baik didunia kepada sesama, maupun kepada Tuhan di
akhirat, ketika setiap orang, akan datang kepadanya secara pribadi-pribadi.
Pandangan
agama ini mengimplikasikan bahwa setiap pribadi manusia adalah berharga, seharga
kemanusiaan sejagad. Barang siapa merugika seorang pribadi, seperti
membunuhnya, tanpa alasan yang sah maka ia bagaikan merugikan seluruh umat
manusia, dan barang siapa berbuat baik kepada seseorang, seperti menolong
hidupnya, maka ia bagaikan berbuat baik kepada seluruh umat manusia.
Karena
itu Kami tentukan kepada Bani Israil: bahwa barangsiapa yang membunuh orang
yang tidak membunuh orang lain atau berbuat kerusakan dibumi, maka ia seolah
membunuh semua orang; dan barangsiapa menyelamatkan nyawa semua orang,
rasul-rasul Kami telah datang kepada mereka dengan bukti0-bukti yang jelas.
Tetapi kemudian setelah itu banyak diantara mereka melakukan pelanggaran
dibumi. (Q.S. al-Maidah/5:32)
Inilah
implikasi dari kefitraan manusia, bahwa setiap pribadi manusia harus berbuat
baik kepada sesamanya dengan memenuhi kewajiban diri pribadi terhadap pribad
yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang lain, dalam suatu jalinan
hubungan kemasyarakatan yang damai dan terbuka. Ini juga arti salam, kedamaian
dibumi yang menjadi tujuan dan tuntunan agama pada kehidupan social manusia.
Kefitraan juga menjadikan manusioa mempunyai sikap-sikap terbuka, lapang dada,
penuh pengertian, dan kesediaa untuk senantiasa member maaf secar wajar dan
pada tempatnya. Gabungan antara hak pribadi dan kewajiban social itu
mencerminkan ajaran Islam tenteng “jalan tengah” (wasath), wajar daj fair
(qisth) serta adil (adl), sikap-sikap yang secara berulang kali ditekankan
dalam kitab suci.
BAB III
PENUTUP
Berangkat dari pembahasan makalah di
atas, maka saya mencoba memberikan sedikit gambaran tentang :
a. Gambaran
Tentang Landasan persamaan antarmanusia.
b. Konsep
tentang prinsip persamaan.
c. Gambaran
tentang kemanusiaan universal.
Umat
Islam bukan hanya sama melainkan juga bersaudara satu sama lain dengan hak dan
kewajiban yang sama. Semua muslim itu bersaudara dan mereka harus saling
mencintai satu sama lain. Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Karenanya, dapat dikatakan bahwa
prinsip persamaan adalah salah satu prinsip kehidupan bermasyarakat yang asasi
dalam Islam.
Berdasarkan prinsip
persamaan yang dikemukakan diatas, pembentukan masyarakat dalam Islam tidak
didasarkan pada pertimbangan –pertimbangan primordial, seperti kemuliaan
keluarga atau banyaknya harta, tidak juga atas kefanatikan kesukuan atau
golongan atau bahkan kekuasaan. Tetapi pembentukan masyarakat didasarkan pada
nilai-nilai Al-Qur’an dan pada sunah rasul-Nya, yang antara lain menekankan
perlunya kesamaan antarmanusia. Karena itu, dalam masyarakat Islam tidak
dikenal adanya kelas, tidak dikenal bentuk mayoritas, tidak ada kelompok elite
atau borjuis, tidak ada kelompok aristocrat. Yang ada hanyalah kelompok
orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
Konsekuensinya
bagi kehidupan bernegara bahwa pemilihan kepala Negara atau wakil-wakil
masyarakat tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbngan material,
seperti kemuliaan, keturunan, kekayaan, kefanatikan kesukuan, dan kekuasaan,
melainkan dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pemahaman mereka
terhadap hukum-hukum agama serta pengamalan mereka terhadap ajaran agama
tersebut.
Setiap
pribadi manusia harus berbuat baik kepada sesamanya dengan memenuhi kewajiban
diri pribadi terhadap pribad yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang
lain, dalam suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yang damai dan terbuka. Ini
juga arti salam, kedamaian dibumi yang menjadi tujuan dan tuntunan agama pada
kehidupan social manusia. Kefitraan juga menjadikan manusioa mempunyai
sikap-sikap terbuka, lapang dada, penuh pengertian, dan kesediaa untuk
senantiasa member maaf secar wajar dan pada tempatnya. Gabungan antara hak
pribadi dan kewajiban social itu mencerminkan ajaran Islam tenteng “jalan
tengah” (wasath), wajar daj fair (qisth) serta adil (adl), sikap-sikap yang
secara berulang kali ditekankan dalam kitab suci.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asymawi, Muhammad Sa’id, al-Khilafah al-Islamiyah, Sina li
al-Nasyr, Kairo 1992.
Baisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1980.
Mulia, Musdah, Negara Islam, Paramadina, Depok, 2010.
Madjid, Nurcholis, Cendekiawan Dan Regiliusitas Masyrakat, Paramadina, Jakarta, 2009.
Sadjali, Munawir, islam Dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1990.
Asad, Muhammad, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka, Bandung 1985.