-------------------------------------------
(18+) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton
.---------------------------------------------------
Politik
luar negeri merupakan seperangkat kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu
negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai kepentingannya. Setiap
negara dalam menjalin hubungan dengan negara lain memiliki seperangkat aturan
untuk mencapai kepentingan nasional negaranya.[1] Hal ini
disebabkan dalam konteks hubungan internasional pemerintah hendaknya memiliki
rancangan strategi dalam menjalin hubungan yang seluas-luasnya dengan
negara-negara lain agar nantinya negara tersebut dapat menentukan sikapnya di
depan dunia internasional.
Pada dasarnya prinsip dari politk luar negeri Indonesia
yang bebas aktif berlandaskan Pancasila dan Konstitusional UUD 1945. Pada
dasarnya setiap prinsip politik luar negeri Indonesia di buat melihat unsur
penting yaitu kepentingan nasional atau national
interest. Bukanhanya Indonesia tetapi juga negara-negara lain di dunia.
Selain komitmen pada kepentingan nasioanal (national
interest), politik luar RI juga tetap mengedepankan perinsip dasar bangsa
Indonesia yang anti kolonialisme. Dalam memutuskan setiap kebijakan politik
luar negeri Indonesia mengedepankan nilai-nilai dan prinsip yang dijunjung
teguh. Politik luar negeri bebas aktif menjadi dasar pelaksanaan setiap
kebijakan yang akan dibuat, selain melihat kondisi dalam negeri pemerintah
Indonesia juga mengedepankan prinsip-perinsip yang telah tertera dalam
pembukaan UUD 1945.
Politikluer negeri masa suharto,Politik luar
negeri yang berlaku di Indonesia senantiasa berubah seiring dengan pergantian
kepemimpinan. Di era orde baru, politik luar negeri berfokus pada bagaimana
memperbaiki perekonomian nasional melalui peningkatan pembangunan di segala
sektor dan keamanan domestik lewat penguatan militer di bawah kepemimpinan
Suharto yang otoriter. Dominasi militer demi mempertahankan kekuasaan Suharto ini
ditengarai telah menjadi penyebab meletusnya pemberontakan 1998, akibat
pelanggaran HAM yang terjadi di era ini. Banyak pihak yang kontra pemerintahan
Suharto tiba-tiba hilang, hal ini dicurigai sebagai strategi Suharto untuk
membungkam para oposisinya demi tetap memegang kursi kekuasaan. Para
pemberontak pun mengadakan aksi besar-besaran untuk memukul mundur Suharto
sebagai Presiden.
Pasca
lengsernya Suharto merupakan awal ditandainya era reformasi. B.J Habibie,
pengganti Suharto, memfokuskan kebijakannya pada perbaikan stabilitas dalam
negeri yang sempat carut marut akibat krisis ekonomi yang terjadi sejak era
orde baru. Saat itu, tujuan politik luar negeri Indonesia mengalami pergeseran,
dari yang awalnya berfokus pada restrukturisasi ekonomi dan keamanan domestik,
menuju pemulihan reputasi Indonesia terkait dugaan human
right violation di Timor Timur. Diplomasi yang digunakan pun lebih
mengedepankan pada cara-cara yang soft, berbeda
dengan pemerintahan sebelumnya yang mengandalkan hard
power berupa kekuatan militer. Selain itu, Habibie juga berfokus pada
pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, yang bisa dilihat lewat
pertukaran pelajar dan banyaknya pelajar yang mendapat kesempatan menempuh
jenjang S2 di luar negeri. Aktivasi peran Deplu pun diberlakukan demi
menjalankan politik luar negeri untuk membantu Presiden dalam decision-making process terkait kebijakan luar negeri.
Namun,
pada periode ini, Habibie yang ingin mengembalikan citra Indonesia malah
membuat kebijakan yang berimplikasi terhadap lepasnya Timor Timur dari wilayah
Indonesia. Saat itu Habibie begitu lunak dalam diplomasi, dimana beliau
mengusulkan opsi otonomi luas (self-determination)
kepada
rakyat Timor Timur berupa referendum (jajak pendapat). Referendum ini mendapat
sambutan baik, terbukti banyak penduduk setempat yang memilih untuk
memerdekakan diri dari wilayah Indonesia dan membuat negara baru. Hal inilah
yang menjadi faktor lepasnya Timor Timur dari pangkuan ibu pertiwi. Dari
sinilah dapat diketahui bahwa ketidaktegasan diplomasi Indonesia saat itu
membuat negeri ini kehilangan “anak” yang bernama Timor Timur.
Legitimasi domestik Habibie menjadi
menurun. Pertama, beliau dianggap tidak memiliki hak konstitusional untuk
memberi opsi referendum di Timor Timur, karena jabatannya sebagai presiden
transisional. Kedua, kebijakan beliau terkait isu Timor Timur mereduksi
hubungannya dengan Jenderal Wiranto, Panglima TNI kala itu. Selain di kancah
domestik, legitimasi beliau juga memudar di kalangan internasional karena
dinilai gagal dalam mengontrol TNI, yang pada awalnya mendukung referendum
tetapi di lapangan malah mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada aksi
kekerasan di Timor Timur pasca referendum (Vermonte, 2010).
Muhammad Hatta mengungkapkan bahwa
politik luar negeri memiliki agenda dan sasaran, yakni untuk mencapai
kepentingan nasional dan dijalankan berdasarkan situasi dan kondisi
perpolitikan saat itu. Kepemimpinan yang memiliki watak berbeda-beda juga
membuat kebijakan politik luar negeri berubah-ubah, menyesuaikan dengan kondisi
domestik maupun internasional. Era selanjutnya adalah pemerintahan
Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur. Selain berfokus pada
restrukturisasi ekonomi, era Gus Dur juga ditandai dengan upaya menggalang
dukungan terkait konflik dalam negeri yang terjadi dan penguatan integritas
teritorial Indonesia. Upaya yang terlihat antara lain kunjungan kenegaraan ke
luar negeri, reposisi peran militer demi percepatan demokratisasi, dan
sebagainya (Mashad, 2008).
Pada era Gus Dur, Indonesia juga
didominasi oleh sejumlah kritik domestik, misalnya ancaman disintegrasi
nasional, mass violence di berbagai
wilayah, masalah hukum, dan ketertiban umum. Kondisi semakin parah dengan
adanya krisis ekonomi dan kurangnya kapasitas dalam negeri dalam mengkonsolidasikan
demokrasi untuk mencapai good governance (Yani, t.t).
Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang revolusioner. Pada masa kepemimpinannya,
beliau menunjuk Alwi Shihab −yang memiliki latar belakang agama yang kuat−
sebagai menteri luar negeri. Konsep “kebijakan luar negeri ekumenis” pun
diperkenalkan di Indonesia sebagai pendekatan kebijakan luar negeri Indonesia.
Ketika periode sebelumnya lebih berfokus terhadap isu-isu HAM dan Timor Timur,
Gus Dur saat itu sangat aktif dalam mempromosikan Indonesia di luar negeri.
Beliau banyak berbicara di forum multilateral -termasuk World Economic Forum, World Summit for Social Development, dan ASEAN-.
Beliau juga diterima dengan baik di negara-negara Timur Tengah (Mulyana, 2011).
Karakteristik lain yang penting
selama kepemimpinan beliau adalah tingkat keterbukaan pemerintah terhadap aktor
non negara, khususnya organisasi masyarakat sipil, dalam foreign policy making process (Mulyana,
2011). Selain itu, kunjungan kenegaraan
ke 90 negara selama 21 bulan yang beliau lakukan dipandang tidak memiliki cetak
biru yang jelas dalam menguraikan tujuan utama dari kebijakan luar negeri
Indonesia. Sepanjang waktu itu kebijakan luar negeri Presiden Wahid tidak
memiliki koherensi dan fokus yang jelas (Yani, t.t).
Dengan
demikian, di bawah dua presiden berturut-turut, Habibie dan Abdurrahman Wahid,
Indonesia tidak mampu untuk mendapatkan kembali penghargaan internasional.
Akibatnya, perekonomian hancur oleh krisis keuangan Asia (publikasi penelitian
Bank Dunia, 1993, 1998, dan 2000) tahun 1997-1998. Indonesia juga mengalami
beban sosial, yakni dampak ekonomi dan politik dari krisis itu, dan telah lamban
dalam pemulihan dari krisis tersebut. Dalam hal ini Indonesia telah dipaksa
untuk berada pada profil rendah di kalangan masyarakat internasional, karena
kredibilitas negara di forum internasional menjadi memburuk (Yani, t.t).
Mengikuti
jejak pendahulunya, Abdurrahman Wahid, Megawati juga rajin melakukan lawatan ke
luar negeri. Sebagai presiden, Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang,
Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania,
Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan
juga Pakistan. Berbagai kunjungan yang beliau lakukan menuai banyak kritik,
baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan tersebut. Salah
satunya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari
Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow (Vermonte, 2010).
Politik luar negeri era Megawati juga dipengaruhi oleh berbagai peristiwa
nasional maupun internasional yang terjadi kala itu, misalnya tragedi WTC 11
September 2001, tragedi bom Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun
2003, invasi AS ke Irak, dan operasi militer di Aceh untuk menghalau GAM.
Variabel
di atas membawa persoalan yang rumit. Misalnya, perang melawan terorisme di
satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama
internasional (Vermonte, 2010). Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu
besar mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses
demokratisasi, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan
mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip security
approach di dalam negeri.
Diplomasi
Indonesia kembali menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Departemen
Luar Negeri (Deplu) sebagai pilar utama diplomasi Indonesia telah melakukan
restrukturisasi demi mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam
pengelolaan diplomasi. Di sini Deplu memahami bahwa diplomasi tidak lagi hanya
dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar,
tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam
negeri (Vermonte, 2010).
Di
masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintahan Indonesia masih
berjuang dalam masa persaingan yang demokratis di antara sentral-sentral
politik/kekuasaan, yang secara teoritis bisa berakhir dengan kembali ke
otoritarianisme atau bergerak menuju demokrasi instalasi (Casper dan Taylor,
1996). Indonesia berada dalam pergolakan raksasa transisi dari pemerintahan,
sentralistik otoriter ke arah yang lebih demokratis dan desentralisasi
administrasi. Pergeseran ini sebagian disebabkan oleh perubahan politik yang
dimulai pada tahun 1998, setelah pengunduran diri Soeharto dari kursi
kepresidenan. Sejak saat itu, sistem pemerintahan yang otoriter berganti
menjadi sistem yang lebih demokratis, dan pemerintah Indonesia bisa menegaskan
supremasi sipil atas militer (Vermonte, 2010).
Partai
politik dan kelompok kepentingan pun banyak bermunculan. Publik juga menuntut
pemberian suara yang lebih besar dalam pengambilan keputusan pada umumnya,
termasuk dalam urusan luar negeri (Vermonte, 2010). Dalam pidato kebijakan luar
negeri pertamanya sebelum Indonesian
Council on World Affairs (ICWA), 20 Mei 2005, Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia
telah aman melewati dua karang
(Yani, t.t). Beliau menggunakan metafora navigasi turbulensi laut untuk
menggambarkan tantangan yang dihadapi
oleh kebijakan luar negeri Indonesia saat ini. Yudhoyono menguraikan
interpretasi terhadap kebijakan
luar negeri bebas aktif Indonesia sebagai desain untuk periode lima tahun
mendatang.
Pertama, Yudhoyono
menambahkan perlunya pendekatan konstruktif dalam pelaksanaan kemerdekaan dan
kebijakan luar negeri aktif. Kemerdekaan Indonesia dan aktivisme harus
dikombinasikan dengan pola pikir konstruktif. Hal ini menunjukkan kemampuan
untuk mengubah musuh menjadi teman, dan untuk mengubah teman menjadi mitra.
Konstruktivisme membantu Indonesia untuk menggunakan kemerdekaannya dan
aktivisme menjadi pencipta perdamaian, membangun kepercayaan diri, pemecah
masalah, dan pembangun jembatan (Yani, t.t). Kedua, mandiri dan
aktif berarti bahwa Indonesia tidak akan masuk ke dalam aliansi militer.
Indonesia belum pernah terlibat dalam pakta militer dengan negara asing, dan
Indonesia akan melanjutkan kebijakan untuk tidak mengizinkan setiap pangkalan
militer asing membangun basis di wilayah Indonesia. Ketiga, kebijakan
luar negeri yang bebas aktif adalah semua tentang konektivitas. Hal ini memaksa
Indonesia untuk membangun hubungan yang aktif dan sehat dengan negara tetangga,
dengan kekuasaan yang lebih besar, dengan wilayah di dunia, dengan lembaga
internasiona,l dan berbagai macam aktor non-negara. Keempat, kebijakan
luar negeri bebas aktif harus memproyeksikan identitas internasional Indonesia.
Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, populasi dunia
Muslim terbesar, dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kelima, bebas aktif harus mencerminkan brand Indonesia dengan ciri nasionalisme yang terbuka, percaya
diri, moderat, toleran, dan outward looking. Brand nasionalisme ini harus menjadi akar
internasionalisme Indonesia. Dengan cara ini, kebijakan Indonesia yang bebas
dan aktif menjadi relevan baik bagi kepentingan nasional Indonesia maupun
masyarakat internasional (Yani, t.t).
Pidato
Yudhoyono ini memberikan arah kebijakan luar negeri yang jelas dan koheren yang
harus dilaksanakan ke dalam prioritas dan agenda untuk menjadi pedoman bagi
setiap diplomat. Dari perjalanan politik luar negeri di atas, dapat diketahui
bahwa gaya kepemimpinan maupun situasi domestik dan internasional turut
mewarnai perubahan kebijakan luar negeri tiap periode kepemimpinan yang membawa
negeri ini ke dalam konflik atau menuju kesejahteraan.
-------------------------------------------
(18+) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.
---------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment